Alam Takambang Jadi Guru

Mari berguru pada alam yang terhampar…

Nobody can stop me,but myself…

22 Komentar

Tulisan ini sudah kutulis 23 Februari lalu, ragu-ragu meng-uploadnya, khawatir ada yang tersinggung, aku tak punya waktu buat melayani orang-orang sok tau-ikut campur. Aku bukan anti kritik, tapi memang aku tak suka diatur….Kamu sebaiknya tak menulis ini! What!??? So, its my right to write…

Seperti yang pernah kutulis, menulis bagiku adalah proses detoksifikasi, katarsis, pencaliran racun dalam kepala, sampah benak—yang—kuharap bisa membersihkan jiwa. Utama lagi, belajar membiasakan bisa agar menjadi obat. Walau aku bukan siapa-siapa, hanya penulis ecek-ecek. Hanya menulis di blogku yang sepi. Walau jarang yang komen (hukum tak tertulis, kalau kamu jarang BW jangan harap banyak yang komen hehe…). Bukannya aku tak suka, tapi sikonku memang tak memungkinkan memberikan berjam-jam waktu buat blogwalking…palingan kuusahakan mengunjungi balik teman yang mampir, itupun lamaaa banget dicicilnya…Payah dah. Tapi angka search & stats lumayan banyak untuk referensi alam, puisi alam. Visit diam-diam juga banyak untuk tulisan tertentu 😉

Begitulah menurutku, sampahpun, berguna ketika diolah. Berharap kata-kata yang kutulis tak menjadi racun mematikan, malah bermanfaat…Maafkan bagi teman yang tak berkenan keracunan…jangan baca ya…Kalo protes boleh, sila datang kerumahku bawa oleh-oleh ya. *from Medan with love.

Kadang aliran pikir di otak mendesak-desak hendak dikeluarkan, begitu juga bertumpuk rasa dari peristiwa keseharian di hati. Selama ini, walaupun hanya penulis ecek-ecek, aku selalu menulis demi kelegaan jiwa raga, demi kebahagiaan (sengaja nge-link ke sini, karena aku tak mengupload tulisan ini ke blog). Menulis kapan saja, walau belum tentu aku upload.

Tak ada yang bisa melarangku menulis, kecuali diriku sendiri. Aku percaya, manusia itu adalah makhluk yang bablas kalau tak dibatasi. Tak mungkin manusia bisa memiliki kebebasan murni sesukanya. Manusia itu akan lepas kendali tanpa hukum-hukumNya. Al-insan sangat-sangat terbatas….lha dibatasi sehelai tirai saja kita nggak bisa lagi melihat yang di depan?

Ketika menulis tentang “Kejujuran Menulis dan Menuliskan Kejujuran”, aku tergelitik mengungkapkan itu semua karena obrolan dengan teman tentang kebiasaan orang mencuri karya orang lain seenaknya, utuh maupun sebagian—di internet maupun lewat media lain. Juga kebiasaan menggunakan hasil lelah orang lain seperti hasil survei, riset, wawancara, dsb, tanpa sedikitpun menyebutkan sumbernya (waktu itu diskusi dengan teman seorang dosen yang bercerita banyak rekannya yang memanfaatkan mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugas mereka).

Menulis apa yang dirasa, dipikir, diinginkan dsb, melalui berbagai ekspresi menurutku syah-syah saja. Hal biasa aku lihat orang yang curhat di blognya menuliskan tentang  teman sekantor yang menjengkelkan, teman arisan Bu Fulanah yang rese, pendapatnya tentang berita di Media, dsb. Asal tahu ‘aturan mainnya’. Siapa sih yang tidak menulis berdasarkan kejadian di sekitar atau pengalaman-pengalamannya? Bahkan fiksi sekalipun. Bahkan juga ustadz/ustadzah di mesjid mencontohkan si ’Fulan di kampungnya’ untuk contoh-contoh isi ceramah.

Dulu, pada suatu zaman tak tentu, aku kenal seseorang yang suka sekali menulis tentang lingkungannya, sehingga pasangannya berkomentar kira-kira begini; ”Kalau hari ini ada kejadian di komunitas ini, besok pasti keluar tulisannya, kayak dia aja yang paling suci!” katanya bercanda. Di dunia cyber yang luas tanpa batas ruang dan waktu, aku pernah juga melihat orang yang seenaknya menggosipkan orang lain dengan memberikan link ybs dan mengakibatkan ’keributan’ online, untungnya ybs tak memperkarakan secara hukum.

Sejujurnya aku sendiri juga menulis tentang apa yang aku rasakan, pikir, alami, dsb berdasarkan pengalaman keseharian, tapi aku selalu berusaha berimbang, mencoba objektif dan sebagian besar malah kritik diri ataupun perenungan yang berupa soliloqui (percakapan diri). Kalau orang memahaminya beda, itu hak mereka, kita tak pernah bisa menentukan persepsi orang mengenai tulisan kita. Aku tak tahu apa saja persepsi orang yang baca blogku, mungkin saja ada yang nyangka aku ini hantu hijaukah, gajahkah, adventurerkah..entah apalah….terserah mereka…

Aku sendiri pernah gemas ingin mengomentari suatu tulisan suatu hari, yang menurutku-hampir pasti—adalah kisah mesum sebenarnya yang seolah-olah kisah romantis dalam puisi. Aku yakin karena aku punya akses underground waktu itu untuk kepastiannya. Juga orang yang sama menganggapku percaya semua tulisan-tulisan mesumnya adalah nyata. What? Emangnya aku anak baru lahir? Aku berani yakin, mana yang nyata dan tidak berdasarkan bukti yang aku punya. Seberapapun benarnya menurutku, tak ada bukti ’on the screen’. Karena itu aku memilih diam. Kenapa? Karena komen dan marah-marah pada tulisan orang tanpa bukti yang menyebutkan kepastian atau sebuah tautan (kalau di internet), walau pun kita yakin benar, bisa saja berbalik kepada kita. Misal, ketika seseorang menulis tentang korupsi misalnya, seseorang yang baru saja melakukan korupsi langsung tersinggung dan mencak-mencak…Bukankah itu suatu cara naif untuk mengakui kebodohan bin ketololan sendiri mengungkapkan bahwa dia memang seorang koruptor?

Bagaimanapun ingin bebas, ada aturan main buat menulis. Jangan pernah terang-terangan membuat tautan ke target yang dimaksud apalagi menyebut namanya. Kalau bisa pelajari juga aturan syah yang berlaku seperti UU ITE, dll. Walaupun dalam kontroversi, undang-undang yang sudah syah tetap saja berlaku. Juga ada norma, etika, rasa. Cobalah objektif dan memandang secara umum. Aku sendiri sudah merasa melakukan itu, tapi pendapat orang—what the hell—hak mereka bukan?

RumahCinta, 23 Februari 2010

22 thoughts on “Nobody can stop me,but myself…

  1. hmm.. hmm..

    wieenndd, kali ini si uni ngga lagi mamburansang
    lagi cool dia 😛

  2. Flame war mungkin itu namanya 😆
    wempi seringnya seperti itu di milist…

    ini posting maksudnya apa ya? smoga saja yang gw pikirin sama dengan ini postingan 😆

  3. iyah unie,adalah hak setiap oran9 untuk berpendapat dan men9utarakan isi hatinya.

    klu aku uni lebih berfikir you’re what you think !

    makana selalu berhati hati klu komen,memposisikan jika kita menjadi dia 🙂

    dan benar uni yan9 bisa men9hentikan kita menulis adalah kita sendiri *tosssss..!!

  4. Paragraf terakhir posting Anda ini saya amat sepakat. Bagaimana pun ingin bebas tetap ada aturan untuk menulis. Bukan untuk membatasi kebebasan tapi lebih untuk menunjukkan kedewasaan diri.

    Karena kita menulis di ruang publik. Kecuali kita menulis di buku harian kita sendiri, terserah, wong yang mbaca ya kita sendiri.

    Salam kenal bunda Merry. Sila berkunjung ke blog saya.

  5. saya pun menulis dengan kehendak hati, dan merasa tlisan adalah ungkapan jiwa. jadi biarkan saja orang perpendapat seperti itu… berarti hanya orang orang bijaklah yang paham, semangat terus dan tetap menulis ya… salam sayangku 😛

  6. Salam kenal uni…
    Tulisannyo rancak mah…
    Keep share yoo

  7. menulis memang katarsis buat jiwa, meiy. soal etika dll, atau kalo ada yg keberatan dan tersinggung karena tulisan kita, itu soal lain. berbesar hati ajalah *aduh komenku aneh, hehehe…

  8. menulis yang enak memang kehendak jiwa, aliran bahasa jiwa, orang lain memberikan makna ya memang haknya memberikan makna ketika tulisan kita berada di wilayah publik, maka saya sepakat bahwa tidak kebebasan mutlak dalam hal menulis.
    hanya saja jika makna yang ditafsirkan sengaja berbelok itu adalah kesalahan yang membelokkan, bukan karena tafsir atas teks yang kita buat

  9. ah… aku tersenyum membaca baris2 pertama tentang ‘menulis untuk detoksifikasi’.

    ah, sama ternyata…

    aku juga menulis untuk detoksifikasi… dan berharap mudah2an ‘limbah’ yang telah diolah itu tak terlalu mengotori atau meracuni lingkungan… dan jika sedikittt saja tulisanku dapat menjadi sumber inspirasi, senang sekali rasanya… tapi yang paling senang memang rasa lega setelah menulis… dan energi yang seperti baru diisikan kembali… 🙂

    salam, d.~

  10. 🙂 …Menulis adalah sarana ungkapkan kejadian lewat kata.
    Namun, bener yang Uni sampaikan…

    “Bagaimanapun ingin bebas, ada aturan main buat menulis.”

Tinggalkan Balasan ke Wempi Batalkan balasan